Friday, August 16, 2013

Die Kirchen Deutschlands

Catatan: tulisan ini akan diterbitkan pada bulletin internal GKP Jemaat Bandung (Effata).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
 
Pada bulan Desember 2011 hingga Desember 2012 yang lalu, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah program training di  Jerman. Selama periode 1 tahun tinggal di Jerman, penulis mengunjungi beberapa kota, baik itu di Jerman, maupun di beberapa negara Eropa lainnya. Dari setiap kunjungan ke berbagai kota tersebut, penulis selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi gereja-gereja yang ada di kota tersebut. Melalui tulisan ini, penulis ingin membagikan kepada pembaca semua, sedikit informasi dan pengetahuan dari beberapa gereja yang sempat penulis kunjungi.

 
Selain gereja-gereja yang penulis kunjungi hanya sekali, ada juga beberapa gereja yang menjadi tempat ibadah penulis, selama penulis tinggal di Saarbrücken, Mannheim, Berlin, dan Duisburg. Ke-4 kota inilah yang menjadi kota tempat tinggal penulis, selama penulis tinggal di Jerman. Selain sekilas tentang gerejanya, penulis juga akan membagikan sedikit pengalaman, bagaimana menjadi jemaat di ke-4 kota tersebut.

Gereja dalam bahasa Jerman adalah die Kirche. Ketika awal belajar Bahasa Jerman, penulis harus berhati-hati membedakan kata die Kirche dengan die Kirsche. Karena, walaupun hanya berbeda satu huruf, namun maknanya sangat berbeda. Die Kirche berarti gereja, sedangkan die Kirsche berarti buah cherry.

 
Judul tulisan ini (Die Kirchen Deutschlands), berarti kurang lebih “gereja-gereja di Jerman”. Namun penulis juga akan sedikit membahas beberapa gereja di luar Jerman, yang sempat penulis kunjungi.

 
Sekilas Tentang Jerman

 
Jerman (atau nama resminya adalah Republik Federal German/Bundesrepublik Deutschland) adalah negara yang terletak di bagian tengah Eropa. Jerman memiliki 16 negara bagian (Bundesland), dengan ibukotanya, yang sekaligus juga kota terbesarnya, adalah Berlin. Negara Jerman sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang. Yang paling tidak bisa dilupakan dari sejarah, adalah peran Jerman dalam Perang Dunia ke-2 (masa kepemimpinan Adolf Hitler), dan tembok Berlin, yang merupakan hasil dari perang dingin antara Amerika beserta sekutunya dengan Uni Soviet pada saat itu.

 
Bagi kekristenan sendiri, Jerman memiliki peran yang sangat penting. Di Jerman-lah, tepatnya di Wittenberg, pada tahun 1517, terjadi gerakan reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther, yang melahirkan protestanisme.

                                                                                     
Seperti negara-negara di Eropa barat lainnya, di Jerman kekeristenan memang menjadi mayoritas. Sekitar 62,8% dari penduduk Jerman menganut kekristenan (30% Katolik, 29,9% Protestan, 1,6% Kristen Ortodoks, dan sisanya menganut denominasi lain)[1].  Karena itu, tidaklah mengherankan apabila gereja menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat di Jerman. Hampir di setiap kota terdapat gedung gereja. Setiap kota memiliki gereja utama, yang biasanya berlokasi di pusat kota, di dekat Balai Kota (Rathaus) atau di dekat istana. Selain gereja utama, di setiap kota bertebaran gereja-gereja, baik Protestan maupun Katolik, baik yang merupakan bangunan lama yang telah berdiri beratus-ratus tahun, maupun yang baru dan modern.

 
Seperti dicatat oleh sejarah, setelah Perang Dunia II usai, dan Jerman kemudian di kuasai oleh Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet, kondisi Jerman hancur lebur setalah dibombardir habis-habisan. Hampir semua bangunan di kota-kota di Jerman hancur, termasuk bangunan gereja. Namun, jika kita melihat kota-kota di Jerman itu saat ini, kita sama sekali tidak akan menyangka bahwa sebelumnya kota-kota itu pernah hancur, karena semua dibangun kembali dan direstorasi hampir menyerupai bangunan aslinya, pada masa sebelum perang. Banyak gedung-gedung tua dan bersejarah yang direstorasi sedemikian rupa, hingga menyerupai aslinya. Termasuk gedung-gedung gereja-nya. Keaslian dan keindahan bangunan asli tetap dipertahankan.

 
Dalam upaya mempertahankan keindahan dan keaslian interior gereja, penggunaan teknologi di dalam gereja pun tampak sudah diperhitungkan, sehingga tidak mengganggu secara visual. Misalnya, penggunaan sound system yang canggih, dengan menggunakan loudspeaker yang berukuran kecil, tidak mencolok, namun menghasilkan suara berkualitas tinggi. Atau tidak digunakannya layar-layar proyektor (seperti yang banyak ditemukan di gereja di Indonesia pada masa kini) yang dapat mengganggu keindahan bagian depan gereja.

 
Walaupun Jerman dikenal dengan negara yang menghasilkan teknologi tinggi, namun untuk urusan ibadah dalam gereja, masih mengutamakan kesederhanaan, tanpa mengurangi kekhidmatan dan kelancaran proses ibadah. Misalnya, penggunaan papan penunjuk nomor lagu, penggunaan buku nyanyian, dan dipertahankannya penggunaan organ pipa. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, memang terasa ada perbedaan sensasi, ketika kita memasuki gedung gereja yang tinggi menjulang, dengan interior dan dekorasi yang sangat cantik dan detail, ditunjang dengan suara organ pipa dan paduan suara yang indah. Kebesaran dan kemegahan Tuhan lebih terasa, ibadah menjadi lebih khidmat. Sensasi ini sulit dirasakan apabila kita memasuki gedung gereja yang modern, sarat dengan berbagai perlengkapan elektronik yang canggih. Tapi itu merupakan perasaan subjektif dari penulis sendiri. Mungkin para pembaca ada yang lebih menyukai gedung gereja yang modern.

 

Saarbrücken : Johanneskirche dan Ludwigskirche

 
Saarbrücken merupakan kota singgahan pertama yang ditinggali oleh penulis selama 2 bulan, mulai Desember 2011 hingga Januari 2013. Kota ini merupakan ibukota negara bagian Saarland, terletak di perbatasan Jerman-Prancis, di tepian Sungai Saar. Hanya dengan berkereta sekitar 30 menit saja, kita sudah bisa sampai di salah satu kota kecil di Prancis, yaitu Saaregumienes. Secara historis, kawasan Saarland ini beberapa kali berpindah kepemilikan kekuasaaan, antara Prancis dan Jerman. Namun hingga saat ini, Saarland menjadi salah satu negara bagian di Jerman setelah pada tahun 1935 penduduk di kawasan ini memilih untuk bergabung dengan Jerman melalui sebuah referendum. Pengaruh Prancis di Saarland, dan juga di Saarbrücken masih cukup terasa hingga sekarang. Contohnya adalah penggunaan bahasa Prancis yang masih cukup banyak dipakai, dan nama-nama keluarga yang masih berbau nama Prancis. Pengaruh Prancis juga terasa pada kekristenan, di mana mayoritas penduduk Saarbrücken beragama Katolik.


Yang akan penulis ulas adalah 2 gereja Protestan utama di Saarbrücken, yaitu Johanneskirche dan Ludwigskirche.

 
Johanneskirche

Johanneskirche (Gereja Yohanes) merupakan sebuah bangunan bergaya neo-gotik, yang dibangun antara tahun 1894 – 1898. Gereja ini mampu bertahan dan tetap berdiri selama Perang Dunia Ii berlangsung, walaupun Kota Saarbrücken sendiri pada periode 1942 – 1945 rata dengan tanah.

 
Penulis beberapa kali mengikuti Kebaktian Minggu di Johanneskirche. Letaknya strategis di tengah kota, dan berdekatan dengan halte bis maupun stasiun kereta (Straßenbahn). Di gereja inilah penulis pertama kali mengikuti Perjamuan Kudus (Abendmahl) di Jerman.

Ada hal yang menarik mengenai Perjamuan Kudus di Jerman. Tidak seperti di GKP, Perjamuan Kudus di Johanneskirche dilakukan dengan mengundang semua jemaat untuk maju ke depan, dan membentuk lingkaran di sekitar altar. Kemudian, Pendeta dan petugas (mungkin seperti majelis di kita) akan berkeliling membagikan roti dan anggur. Roti biasanya dibagikan oleh petugas, sedangkan anggur dibagikan oleh Pendeta. Jadi mereka yang berkeliling, sedangkan jemaat menunggu giliran sambil melingkar. Pada awalnya penulis merasa ragu untuk ikut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus ini, karena mengira bahwa semua jemaat meminum anggur dari satu cawan, tidak dari gelas-gelas seperti yang lazim dilakukan di GKP. Namun, setelah diperhatikan, ternyata cawan yang digunakan tidak hanya satu. Sang Pendeta akan memutar bibir cawan setelah digunakan oleh satu jemaat, sehingga jemaat berikutnya minum dari bibir cawan yang bersih, dan setelah 4 orang jemaat (atau setelah seluruh sisi bibir cawan digunakan), maka cawan akan diganti. Namun, untuk jemaat yang tidak mau meminum anggur langsung dari cawan, dapat menggunakan metode lain, yaitu dengan mencelupkan roti ke dalam cawan kemudian memakan roti tersebut.

 
Pertanyaannya, bagaimana mungkin semua jemaat dapat tertampung dalam sebuah lingkaran di depan altar? Tentu saja dibuat pengelompokan, jadi tidak semua jemaat dalam pada satu waktu sekaligus maju ke depan, namun di bagi dalam beberapa kelompok. Menurut pengamatan penulis, metode Perjamuan Kudus dengan maju ke depan seperti itu, hanya dilakukan di gereja-gereja yang tidak terlalu besar, dengan jemaat yang tidak terlalu banyak. Untuk gereja yang besar dan jemaat yang banyak (misalnya di Berliner Dom, di Berlin), maka perjamuan kudus dilakukan dengan cara jemaat yang mendatangi Pendeta untuk mendapat roti dan anggur, persis seperti yang dilakukan dalam Perjamuan Kudus di GKP Bandung pada Jumat Agung 2013 yang lalu (bedanya, di sana berlangsung dengan sangat tertib dan teratur, dan di dukung dengan ruangan gereja yang luas, sehingga memudahkan jemaat untuk  berjalan ke altar). Dengan metode seperti ini pun, jemaat meminum anggur langsung dari cawan, dengan perputaran dan penggantian cawan seperti yang sudah dijelaskan.

 
Selain Perjamuan Kudus, ada beberapa pengalaman menarik yang dialami oleh penulis selama berkebaktian di Johanneskirche. Pada salah satu minggu Advent (Desember 2012), tema kebaktiannya adalah mengenai Bintang Bethlehem atau Bintang Timur, yang tampak pada malam kelahiran Tuhan Yesus. Yang menarik adalah, khotbah dilakukan dengan cara dialog, antara Pendeta dengan Seorang Astronom. Sang Pendeta membahas sisi dan makna teologis dari Bintang Bethlehem, sedangkan Astronom membahas dari sisi astronomi, lengkap dengan berbagai teori tentang Bintang Bethlehem. Misalnya teori yang mengatakan bahwa Bintang Bethlehem itu adalah Planet Venus, atau meteor, atau supernova yang terjadi tepat pada saat kelahiran Yesus. Menjadi menarik bagi jemaat, karena dilengkapi juga dengan gambar-gambar dan foto-foto astronomis yang sangat indah. Selain itu, jemaat juga diberikan kesempatan untuk melihat langsung bintang-bintang tersebut, melalui Planetarium mini yang sengaja di bangun di dalam bangunan gereja, hasil kerjasama antara pihak gereja dengan Planetarium setempat.

 
Hal berikutnya yang menarik dari pengalaman kebaktian di Johanneskirche, adalah bahwa tidak selalu Pendeta yang berkhotbah. Pada suatu kebaktian, yang berkhotbah adalah seorang dari Kementrian Lingkungan Hidup Negara Bagian Saarland, yang menyampaikan khotbah mengenai pentingnya jemaat memelihara kelestarian lingkungan hidup.  Atau, pernah juga seorang pemimpin orkestra musik yang berkhothah, dengan thema peran musik gereja dalam ibadah. Mungkin gereja dan jemaat di Jerman menganut prinsip “serahkan pada ahlinya”, sehingga tidak selalu Pendeta yang harus berkhotbah, terutama untuk thema-thema yang khusus dan spesifik.

 
Ludwigskirche

 Ludwigskirche adalah gereja lain tempat penulis beribadah selama 2 bulan tinggal di Kota Saarbrücken. Gereja ini didirikan mulai tahun 1762 dan selesai pada tahun 1775, dengan gaya baroque. Ludwigskirche didirikan atas permintaan  Wilhelm Heinrich von Nassau-Saarbrücken yang saat itu berkuasa. Gereja ini berlokasi tidak jauh dari Istana Saarbrücken. Karena menjadi salah satu bagian dari istana, maka tidak mengherankan kalau Ludwigskirche tampak mewah dengan berbagai ornamen yang cantik.

 
Pada 1885-1887 dan pada 1906-1911, Ludwigskirche mengalami restorasi. Selama Perang Dunia II, Ludwigskirche hampir hancur. Setelah pemboman pada tanggal 5 Oktober 1944, hanya dinding sekitar gereja yang masih berdiri. Pembangunan kembali Ludwigskirche dimulai pada tahun 1949, namun kemudian behenti dan tertunda untuk jangka waktu yang cukup panjang. Alasan utama penundaan panjang ini karena ada perdebatan hebat, yang berlangsung dari tahun 1950-1970, tentang apakah interior barok, yang telah benar-benar hancur karena pemboman, harus direkonstruksi sesuai dengan kondisi aslinya. Pada awalnya, ada kesepakatan untuk mengembalikan bentuk luar gereja  (eksterior) seperti aslinya, dengan interior modern. Namun rencana ini akhirnya ditinggalkan, dan interior barok akhirnya digunakan kembali. Setelah rekonstruksi Fürstenstuhl (tempat duduk pangeran di galeri seberang organ) pada tahun 2009, dapat dikatakan bahwa restorasi interior Ludwigskirche selesai. Namun beberapa patung  yang menghiasi pagar di luar masih ada yang kurang.

 
Penulis mengikuti Kebaktian Natal 2012 di gereja ini. Kalau kita bandingkan kebaktian Natal di Indonesia dengan di Jerman, sepertinya malah di Jerman kurang terasa kemeriahannya. Kemeriahan justru sangat terasa pada saat menyambut Natal, yaitu sepanjang 4 Minggu Advent, yang ditandai dengan tradisi Weihnachtsmarkt (Pasar Natal) yang sangat populer di seluruh Jerman.

 
Jemaat yang hadir pada Kebaktian Natal di Jerman tidak sebanyak jemaat di Indonesia, tetapi hampir sama dengan kebaktian-kebaktian minggu biasa. Gereja pun tidak didekorasi dengan berlebihan, mengingat interior Ludwigskirsche sendiri, yang didominasi oleh warna putih, sudah sangat cantik dengan gaya barok-nya. Hanya ada pohon Natal yang dihias dengan lampu-lampu sederhana. Masyarakat Jerman sendiri pada umumnya merayakan Natal pada tanggal 24 Desember malam (Malam  Natal). Sayangnya, ketika itu penulis tidak bisa ikut hadir berkebaktian pada Malam Natal, sehubungan dengan ketidakadaan transportasi umum. Memang pada Malam Natal, transportasi umum di Kota Saarbrücken tidak beroperasi. Sehingga penulis yang saat itu tinggal di wisma sebuah sekolah bahasa (Carl Duisberg Centren), yang lokasinya sedikit di luar pusat kota, kesulitan untuk berangkat ke pusat kota.

 
Berkebaktian pada musim dingin di Jerman memang merupakan tantangan tersendiri. Walaupun cuaca sangat dingin, kebanyakan gereja-gereja di Jerman (terutama gereja tua), tidak menggunakan sistem penghangat seperti di gedung-gedung modern, sehingga jemaat yang berkebaktian tidak dapat melepas jaket tebalnya. Alhasil, jemaat berkebaktian dengan menggunakan wintercoat tebal. Hal ini sangat terasa ketika penulis berkebaktian di Ludwigskirche. Selain ukuran Ludwigskirche cukup luas, ditambah dengan material interior yang berbahan marmer dan batu, membuat udara dingin menjadi lebih terasa. Berbeda dengan interior Johanneskirche yang banyak lantainya berlapis kayu, membuat ruangan gereja menjadi sedikit lebih hangat.

 
(Bersambung)








[1] Data tahun 2008

Guten Tag!

2013... yups... sudah tahun 2013, dan itu pun sudah memasuki bulan kedelapan, hari keenam belas. Beberapa tahun sudah lewat dari saat terakhir saya menulis di blog ini. Apa yang berubah?

Pastinya saya sudah menjadi individu yang berbeda. Berbeda dalam arti berkembang. Akhir tahun 2011 sampai akhir 2012 adalah masa yang penting dalam perkembangan saya sebagai individu. Selama periode 1 tahun tersebut, saya berada di negeri orang, tepatnya di Jerman, dalam rangka mengikuti International Leadership Training (ILT) Hospital Management, atas beasiswa dari GIZ Jerman. Kesempatan yang langka, dan sangat bermakna terutama dalam pengembangan pengetahuan dan kompetensi tentang perumahsakitan. Lebih bersyukur lagi, karena ternyata saya menjadi peserta ILT angkatan terakhir (angkatan V). Padahal, waktu awal-awal akan mendaftar program ini, sempat terbersit keraguan, dan ingin menunda di tahun berikutnya, mengingat persiapan yang sangat singkat waktunya. Untung saja, waktu itu saya nekad mengambil keputusan untuk tetap mengirim aplikasi dan mengikuti proses seleksi.

Dampak dari keikutsertaan dalam ILT dan tinggal di Jerman selama setahun, tentunya adalah penambahan dalam kemampuan bahasa. Belajar bahasa asing, adalah minat saya dari dulu, sampai-sampai pada waktu SMA saya pernah ikut kursus bahasa Prancis. Selain itu, saya juga suka membli buku-buku pelajaran bahasa asing, mulai dari bahasa Prancis, Spanyol, Jepang, Belanda, dan juga Jerman. Beruntung, melalui program ILT tersebut, saya di'paksa' untuk belajar bahasa Jerman, karena program tersebut memang 100% berbahasa Jerman. Walaupun dulu bahasa Prancis yang menjadi bahasa favorit saya, tapi belajar bahasa Jerman pun ternyata menyenangkan, apalagi kalau kita tahu bahwa bahasa tersebut akan kita pakai sehari-harinya nanti. Walau belum terkategori fasih, namun sekarang saya sudah bisa berkomunikasi dalam bahasa Jerman. Secara formal, saya hanya 5,5 bulan belajar bahasa Jerman, tapi dengan program yang super-super intensif. Selama 1,5 bulan sebelum berangkat ke Jerman, saya belajar bahasa di Goethe Institut Jakarta. Kemudian 2 bulan pertama di Jerman (Desember 2011 - Januari 2012) saya belajar bahasa di Carl Duisberg Centren (CDC) Saarbrücken, dan 2 bulan berikutnya (Februari - Maret 2012) di CDC Mannheim. Tetapi masa belajar yang sesungguhnya adalah ketika bahasa itu dipakai dalam pergaulan sehari-hari, baik itu dalam kelas, maupun dalam kehidupan sosial di Jerman.

Mudah-mudahan nanti beberapa entri dalam blog ini bisa saya tulis dalam bahasa Jerman juga. Atau mungkin nama blog ini, yang sekarang berbahasa Prancis, akan berubah menjadi bahasa Jerman.

Jadi, entri-entri baru di masa depan, mungkin akan berisi beberapa pengalaman menarik yang saya alami selama di Jerman. Mudah-mudahan belum lupa. Begitu banyak pengalaman hidup yang menarik. Sedikit demi sedikit akan saya dokumentasikan dalam blog ini.

Mudah-mudahan, penyakit malas menulis tidak kumat lagi.

Schönen Tag, noch!

Friday, October 21, 2011





Djakarta, die Altstadt

Wednesday, November 19, 2008

Perfume

Tulisan ini bukan tentang novel 'Perfume' yang beberapa tahun lalu beredar, tentang seorang pembunuh yang terobsesi dengan wangi-wangian, yang tega membunuh wanita-wanita demi menemukan aroma yang paling murni. Bukan. Ini bukan tentang novel itu. Tapi tentang parfum yang sebenarnya.

Hari ini, entah kenapa, tiba-tiba terpikir untuk membeli parfum.. Mulailah saya browsing-browsing di internet, mencari review-review parfum terbaru, yang biasanya memang banyak dimuat di internet. Sudah banyak jenis-jenis parfum yang diliat, dengan berbagai penjelasannya, tentang kelebihannya, kekurangannya, kekhasannya, peruntukannya, dan tentu saja harganya. Tapi, setelah beberapa lama browsing, saya merasa kok agak sia-sia juga ya... Melihat dan membaca review dan penjelasan tentang parfum, yang walaupun sangat rinci, ternyata tidak bisa membuat saya membayangkan bagaimana bau dari parfum tersebut. Baru tersadar, bahwa parfum itu kan harus dicium bukan dilihat, jadi mau gak mau, untuk memilih parfum yang memang harus datang ke toko parfum, dan mencium berbagai jenis bau-bau-an yang disediakan. Karena itu, saya agak bingung juga kalau mau membeli parfum secara online, gimana cara memastikan bahwa bau parfum yang dimaksud cocok dengan selera kita.

Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa:
1. Sebelum membeli parfum, memang lebih baik kita cari info dulu di internet, atau sumber lainnya, mengenai jenis parfum apa yang kira-kira cocok. Karena, menurut pengalaman, kalau kita datang ke toko parfum dengan pikiran kosong sama sekali, malah akan semakin bingung. Setidaknya, dari review di internet, kita bisa mencari tahu parfum-parfum mana yang kira-kira sesuai dengan kriteria dan selera kita, plus kapan saat yang cocok untuk memakainya.
2. Untuk pembelian suatu jenis parfum yang pertama kali, sebaiknya mungkin tidak membeli secara online. Akan lebih baik kita membeli di toko atau counter parfum yang ada di mall/dept. store, sehingga kita bisa langsung menentukan parfum mana yang paling sesuai dengan selera kita, karena di sana kita bisa dengan bebas membaui berbagai macam jenis parfum. Walaupun memang disarankan jangan terlalu banyak membaui parfum, karena akan membuat kita semakin pusing sendiri. Di toko parfum kita bisa membuktikan daftar pilihan parfum yang kita buat berdasarkan survei di internet, dengan cara membauinya secara langsung.
3. Untuk pembelian botol ke-dua, dan seterusnya untuk parfum yang sudah kita pernah beli atau pakai sebelumnya, pembelian secara online mungkin merupakan cara terbaik. Selain lebih praktis dan efisien (tampaknya parfum yang dijual online harganya lebih murah, walaupun harus hati-hati terhadap keasliannya), juga menghindarkan kita untuk tergoda membeli parfum lain yang mungkin sebetulnya tidak kita butuhkan.

Nah... itulah sedikit tips (walau bukan datang dari seorang ahli hehehe) untuk membeli parfum.

Hal yang menarik dari parfum adalah, ternyata setiap parfum memiliki karekteristik yang berbeda, mungkin dapat dikatakan setiap parfum memiliki kepribadiannya sendiri. Karena itu, memilih parfum sebenarnya perkara yang rumit juga, karena harus disesuaikan dengan kepribadian kita juga. Parfum yang kita pakai, bisa kita gunakan untuk merepresentasikan siapa kita sebenarnya. Hampir sama dengan pakaian kita. Mungkin itu sebabnya parfum dan fashion sangat bersinggungan. Banyak designer terkemuka dunia yang memproduksi juga parfum.

So, selamat berbelanja parfum yang sesuai dengan kepribadian Anda..

Tuesday, November 11, 2008

One Year Later...

Gak kerasa.. sudah setahun lebih saya tidak pernah mengunjungi blog saya sendiri.. hehehe.. Boro-boro untuk menulis sesuatu.. Ternyata menjaga konsistensi memang susah :-)



Sekarang sudah bulan Nopember 2008, sudah dipenghujung tahun. Musim hujan sudah datang, dan suasana Natal mulai menjelang. Toko-toko mulai berhias dengan ornamen natal, cd-cd natal mulai dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, paduan-paduan suara mulai berlatih lagu-lagu natal.



Walau masih 1,5 bulan lagi, tapi gaung Natal memang sudah terasa. Saya ingat, ketika 2004 terbang ke Manila, waktu itu sekitar pertengahan Nopember, di pesawat (Philippine Airlines) sudah dimainkan lagu-lagu Natal... lucunya, waktu itu di Indonesia sedang dalam suasana Ramadhan, karena saat itu tepat sehari sebelum hari raya Idul Fitri.



Tiba di Manila, sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia yang meriah dengan suasana Ramadhan dan Idul Fitri. Di sana justru suasana Natal jauh lebih terasa. Toko-toko sudah berhias ornamen Natal, rumah-rumah pun sudah dihias dengan lampu-lampu meriah, persis seperti suasana di Indonesia ketika memperingati 50 tahun Indonesia Merdeka tahun 1995 lalu. Uniknya, menurut orang Philippines, mereka sudah mengeluarkan semua ornamen Natal sejak bulan September! Jadi, setiap tahunnya, ketika sudah masuk bulan 'ber'-'ber'-an (September, Oktober dst) maka suasana Natal akan terasa.



Sayangnya, saat itu saya tidak ikut merayakan Natal di Manila, karena pertengahan Desember saya kembali ke Indonesia. Bisa dibayangkan betapa meriahnya perayaan Natal di sana. Tapi setidaknya, saya 'mencicipi' suasana Natal di sana. Salah satunya yang berkesan adalah menonton konser paduan suara bertema natal yang diadakan di tengah-tengah taman terbuka di Green Belt, Manila.



Lain di Manila, lain di Bangkok. Ketika Desember 2007 lalu saya bersama teman-teman kantor melancong ke Thailand (Bangkok & Pattaya), suasana Natal tidak begitu kental. Hampir mirip seperti di Indonesia, dimana toko dan mall-mall berhiaskan ornamen Natal. Tidak semeriah di Manila.



Bagaimana dengan tahun ini? hehe.. so far belum ada rencana melancong sih... Mudah-mudahan ada kesempatan (dan dana, tentunya...)



Kapan, ya, bisa Natal-an di luar negeri? :

Monday, October 01, 2007

True Holywood Story

Buat para pembaca yang kebetulan berlangganan TV kabel, atau TV satelit (mungkin dengan alasan yang sama dengan saya, yaitu karena sudah muak dengan siaran TV lokal hehehe), dan kebetulan mendapatkan channel E! Entertainment, tentu tidak asing lagi dengan suatu acara yang berjudul THS (True Holywood Story).

Buat yang mungkin belum pernah tahu seperti apa acara THS itu, akan saya ceritakan sedikit. THS merupakan acara yang dokumenter yang menceritakan kisah hidup para bintang-bintang Holywood, mulai dari masa kecil mereka, hingga saat ini, di mana mereka berhasil menjadi selebritis yang dikenal di seluruh Amerika, bahkan dunia. Masa-masa yang pahit, penuh penderitaan, maupun prestasi-prestasi yang sudah diraih, semua diceritakan dalam THS. Biasanya, tokoh yang di bahas di THS ini dipilih karena popularitasnya yang sedang menanjak.

Baru-baru ini, THS membahas tentang kehidupan Vanessa Williams, yang belakangan ini mulai kondang lagi karena perannya sebagai Wihelmina Slater dalam serial komedi Ugly Betty yang sedang booming di Amerika, bahkan mendapatkan penghargaan Emmy Award. Dalam THS tersebut, diceritakan bagaimana perjuangan Vanessa dalam meraih prestasinya hingga saat ini, termasuk masa-masa sukar ketika gelar Miss USA harus dicopot, karena ada fotografer yang menyebarluaskan foto-foto seksinya yang dibuat di masa remaja. Kemudian pula kegagalan-kegagalan dalam rumah tangganya. Namun, selain itu diceritakan juga perjuangan Vanessa dalam memelihara dan membesarkan ke-4 anaknya, bagaimana dedikasi Vanessa terhadap anak-anaknya, sampai-sampai rela bolak-balik NY-LA untuk shooting Ugly Betty.

Itu hanya salah satu contoh. Banyak kisah-kisah hidup lain yang dikupas dalam THS. Banyak hal yang kita bisa pelajari dari THS.

Pertama, kesuksesan membutuhkan perjuangan. Para bintang Holywood tidak mengalami keberhasilan dengan begitu saja. Perjuangan yang harus mereka jalani sangat berat. Banyak tantangan-tantangan yang mereka alami. Namun yang membuat mereka bisa bertahan dan sukses adalah ketahanan mereka dalam menghadapi semua rintangan dan halangan. Mungkin inilah yang dikatakan adversity quotient.. (bener gak ya? agak-agak lupa sih...) Banyak bintang Holywood yang berasal dari latar belakang keluarga yang sangat tidak beruntung, miskin, mengalami abuse, dan lain-lain. Tapi hal ini tidak menyurutkan niat mereka untuk meraih kesuksesan.

Kedua, ternyata, kalau diperhatikan, hampir sebagian besar aktris dan aktor Holywood, pernah belajar acting secara serius, atau minimal belajar acting di kelompok teater di SMA. Umumnya mereka sekolah acting secara formal, atau kalaupun tidak pergi ke sekolah/college, mereka punya guru acting, atau mentor. Kesimpulannya, mereka benar-benar serius dalam usaha menguasai bidangnya, gak hanya acting yang sekeder lewat, sekedar nampang... No wonder hasil kerja mereka jadinya sangat bagus dan berkelas. Demikian juga dengan para musisinya. Banyak para musisi Amerika yang benar-benar belajar musik, baik formal maupun non formal..

Bandingkan dengan di Indonesia.. Mungkin ada juga sih, aktor dan aktris atau musisi Indonesia yang memang belajar secara formal dan serius. Tapi, kalo di liat-liat di sinetron kita sekarang, patut dicurigai bahwa para pesinetron itu sebenernya gak punya latar belakang acting yang memadai. Yang penting tampang menjual, enak diliat, berani ngomong... Alhasil, sinetron-sinetron kita jadinya kayak sekarang ini, rada males buat nontonnya.. Belum lagi jurus 'aji mumpung' yang dipraktekkan... orang yang kompetensi nya nyanyi, tiba-tiba ikut maen film atau sinetron, atau sebaliknya, orang yang kompetensinya acting tiba-tiba mengeluarkan album rekaman..

Bukkannya gak boleh, sih, tapi ada baiknya kalau para 'artis' di Indonesia belajar juga dari kesuksesan para bintang Holywood, bagaimana jerih payah mereka, bagaimana keseriusan mereka dalam mendalami bidang kerjanya... Jangan maunya serba instan, yang penting tenar dan dapat duit banyak, tapi tidak memberikan kontribusi positif buat masyarakat..

Beberapa waktu lalu, saya baca sebuah artikel di sebuah tabloid yang isinya mengkritik band-band Indonesia yang cenderung mengeluarkan musik 'seadanya' hanya untuk menarik selera pasar.. Mereka berdalih katanya itu adalah kebebasan berekspresi... ada benarnya juga sih... Tapi kekhawatiran para pengamat musik juga beralasan, mereka khawatir musik di Indonesia gak berkembang, dan 'seadanya', yang penting banyak mendatangkan duit...

Lebih jauh lagi, sebenernya yang perlu kita khawatirkan adalah masyarakat Indonesia sendiri. Gimana kita mau jadi masyarakat yang cerdas, kalau selalu dibodohi oleh sajian hiburan yang sama sekali gak berkualitas, seadanya, gak membuat kita berpikir... Lama-lama orang Indonesia jadi kayak Patrick, temennya Spongebob, atau Homer Simpson yang kebanyakan nongkrong di depan TV hehehe...

Friday, September 07, 2007

Multiple Personalities

Kalau anda menyukai novel-novel yang berbau psikologi, pasti pernah mendengar novel Cybill, yang ditulis berdasarkan kisah nyata seorang perempuan yang memiliki 16 kepribadian. Atau, yang baru-baru ini adalah kisah Billy Milligan, seseorang yang memiliki 24 kepribadian. Sebelumnya, Agatha Christie juga pernah menulis novel fiksi tentang seorang pembunuh yang memiliki 4 kepribadian. Film-film yang menceritakan orang berkepribadian ganda juga banyak, misalnya film Never Talk to Strangers yang dibintangi Antonio Banderas, atau yang baru-baru saya tonton - yang juga menjadi inspirasi dari tulisan ini - adalah salah satu episode dari serial Nip/Tuc, yang menggambarkan pasien yang memiliki kepribadian ganda.

Kepribadian ganda memang merupakan salah satu penyimpangan psikologis, di mana kepribadian seseorang tidak terintegrasi, terpecah, masing-masing berdiri sendiri seperti individu yang berbeda-beda, memiliki keinginan, minat, bahkan kecerdasan yang berbeda-beda. Bahkan pada kasus Cybill dan Billy, beberapa kepribadian memiliki jenis kelamin yang berbeda. Yang lebih aneh lagi, masing-masing kepribadian dapat memiliki fisiologi yang berbeda, seperti tekanan darah, detak jantung, dan lain-lain. (Untuk paragraf ini, mohon koreksi dari teman-teman lain, yang lebih banyak tahu tentang MPD..)

Intinya, orang yang berkepribadian ganda/multiple seakan-akan satu tubuh yang dipakai rame-rame oleh berbagai orang secara bergantian. Katanya (... kalo gak salah...) kepribadian ganda akan muncul karena adanya situasi traumatis yang tidak bisa diatasi oleh individu.

Jadi, kepribadian ganda itu singkatnya adalah suatu penyimpangan. Nah.. dalam salah satu episode Nip/Tuc itu (lupa judulnya apa..) digambarkan salah satu episode dimana Sean McNamara, salah satu tokoh utama, berkata pada partnernya, Christian Troy, bahwa sebenarnya, manusia normal pun sebenarnya berkepribadian ganda. Sean mengatakan bahwa dia bisa menjadi beberapa orang yang berbeda, tergantung situasi. Sean sebagai suami berbeda dengan Sean sebagai ayah, berbeda lagi dengan Sean sebagai dokter, dan berbeda juga dengan Sean sebagai seorang sahabat. Tapi, yang membedakan dirinya dengan orang yang berkepribadian ganda adalah bahwa semua 'kepribadian' nya yang lain bernama sama, yaitu Sean. Sedangkan orang yang berkepribadian ganda biasanya memiliki nama yang berbeda-beda antar tiap kepribadian.

Kalau dipikir-pikir, pendapat Sean itu betul juga. Kadang-kadang, atau bahkan selalu, kita menampilkan diri kita berbeda-beda pada berbagai situasi. Di rumah kita menampilkan perilaku yang berbeda dengan di kantor. Kita menjadi berbeda ketika berhadapan dengan bos, mendadak muncul perilaku baru yang sebelumnya tidak pernah kita lakukan, dan sebagainya, dan sebagainya. Hal ini tidak salah, karena bagaimana pun juga kita harus beradaptasi dengan lingkungan kita, dengan tempat di mana kita berada dan siapa yang sedang kita hadapi. Sepintas, mungkin tampak seperti orang yang tidak punya integritas, plin-plan, berubah-ubah. Memang, garisnya tipis sekali antara beradaptasi dengan tidak memiliki integritas. Kalau kita punya integritas, apapun situasinya, kita akan tetap memegang prinsip kita. Yang salah tetap salah dan yang benar tetap benar. Akan ada 'benang merah' yang menghubungkan setiap pribadi yang kita tampilkan dalam berbagai situasi, sehingga orang akan tetap mengenali kita.

Pernah gak, ada orang yang berkomentar pada kita, "Wah.. lu kalo di kantor beda banget yang sama di rumah" atau "Kalo lagi di depan bos, lu kok jadi beda gitu sih." Nah, kalau orang lain sudah tidak bisa mengenali kita dalam situasi-situasi yang berbeda, karena perilaku kita yang sangat... sangat berbeda... kita harus hati-hati.. Jangan-jangan kepribadian kita sudah mulai terpecah.........

Saturday, September 01, 2007

Be Thou My Vision

Be Thou my vision, O Lord of my heart;
Naught be all else to me save that Thou art.
Thou my best thought by day or by night,
Waking or sleeping Thy presence my light.

Be Thou my wisdom, and Thou my true Word;
I ever with Thee and Thou with me, Lord;
Thou my great Father, I Thy true son;
Thou in me dwelling, and I with Thee one.

Be Thou my battle-shield, sword for my fight,
Be Thou my dignity, Thou my delight.
Thou my soul's shelter, Thou my high tower.
Raise Thou me heavenward, O Power of my power.

Riches I heed not, nor man's empty praise,
Thou mine inheritance, now and always;
Thou and Thou only, first in my heart,
High King of heaven my Treasure Thou art.

High King of heaven, my victory won,
May I reach heaven's joys, O bright heaven's son,
Heart of my heart, whatever befall
Still be my vision, O ruler of all.

Princess Diana

Kemarin (31 Agustus 2007), adalah peringatan 10 tahun kematian Princess Diana, seorang tokoh dunia fenomenal, yang meninggal akibat kecelakaan lalulintas di Paris, Prancis. Peringatan kematian Diana dilakukan di sebuah gereja di dekat Buckingham Palace, dihadiri keluarga dan sahabat-sahabat Diana. Kebetulan, peringatan itu di siarkan langsung oleh BBC dan bisa ditonton di Indonesia.

Hal yang menarik dari peringatan tersebut adalah betapa sederhananya acara yang dilangsungkan. Sederhana, tapi hikmat dan menyentuh. Peringatan dilakukan dalam bentuk kebaktian, ibadah, yang teduh dan menyegarkan. Sangat kontras dengan peringatan ulangtahun Diana pada bulan Juli lalu, dimana Prince William dan Prince Harry menyelenggarakan konser musik besar-besaran. Peringatan 10 tahun Diana juga disiapkan dan direncanakan oleh kedua pangeran tersebut, dan kabarnya mereka sendiri yang memilih ke-500 tamu yang diundang.

Kesederhanaan, tampaknya itu yang ingin digambarkan oleh William dan Harry dari sosok ibu mereka, yang disebutkan Harry sebagai sosok yang down to earth, dan the best mother in the world. Princess Diana dikenal sebagai tokoh yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Status sebagai anggota keluarga kerajaan tidak menyurutkan minatnya untuk menyebarkan sukacita kepada orang-orang yang ditimpa kemalangan. Suatu pelajaran berharga dari Princess Diana.

Hal menarik lain yang dapat diamati dari kebaktian peringatan 10 tahun kematian Princess Diana adalah: di gereja, Queen Elizabeth, Prince Phillip, Prince Charles, Prince William, Prince Harry dan anggota royal family yang lain, duduk di kursi-kursi jemaat, seperti tamu-tamu lainnya. Bandingkan dengan di Indonesia, kebiasaan kita, kalau ada tamu penting, pejabat negara, pastilah duduk di tempat yang berbeda. Kalau yang lain duduk di kursi kayu/kursi cheetos, mereka pasti duduk di sofa yang sengaja disediakan.

Ironis sekali, bukan? Inggris, sebuah kerajaan, memperlakukan Ratu dan keluarganya seperti jemaat biasa di dalam Gereja. Sedangkan kita, yang katanya negara republik, demokratis, masih memperlakukan pejabat secara feodal...