Catatan: tulisan ini akan diterbitkan pada bulletin internal GKP Jemaat Bandung (Effata).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada bulan Desember 2011 hingga Desember
2012 yang lalu, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah program training di Jerman. Selama periode 1 tahun tinggal di
Jerman, penulis mengunjungi beberapa kota, baik itu di Jerman, maupun di beberapa
negara Eropa lainnya. Dari setiap kunjungan ke berbagai kota tersebut, penulis
selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi gereja-gereja yang ada di kota
tersebut. Melalui tulisan ini, penulis ingin membagikan kepada pembaca semua,
sedikit informasi dan pengetahuan dari beberapa gereja yang sempat penulis
kunjungi.
Selain gereja-gereja yang penulis kunjungi
hanya sekali, ada juga beberapa gereja yang menjadi tempat ibadah penulis,
selama penulis tinggal di Saarbrücken, Mannheim, Berlin, dan Duisburg. Ke-4
kota inilah yang menjadi kota tempat tinggal penulis, selama penulis tinggal di
Jerman. Selain sekilas tentang gerejanya, penulis juga akan membagikan sedikit
pengalaman, bagaimana menjadi jemaat di ke-4 kota tersebut.
Gereja dalam bahasa Jerman adalah die Kirche. Ketika awal belajar Bahasa
Jerman, penulis harus berhati-hati membedakan kata die Kirche dengan die Kirsche.
Karena, walaupun hanya berbeda satu huruf, namun maknanya sangat berbeda. Die Kirche berarti gereja, sedangkan die Kirsche berarti buah cherry.
Judul tulisan ini (Die Kirchen Deutschlands), berarti kurang lebih “gereja-gereja di
Jerman”. Namun penulis juga akan sedikit membahas beberapa gereja di luar
Jerman, yang sempat penulis kunjungi.
Sekilas
Tentang Jerman
Jerman (atau nama resminya adalah Republik
Federal German/Bundesrepublik Deutschland)
adalah negara yang terletak di bagian tengah Eropa. Jerman memiliki 16 negara
bagian (Bundesland), dengan
ibukotanya, yang sekaligus juga kota terbesarnya, adalah Berlin. Negara Jerman
sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang. Yang paling tidak bisa dilupakan
dari sejarah, adalah peran Jerman dalam Perang Dunia ke-2 (masa kepemimpinan
Adolf Hitler), dan tembok Berlin, yang merupakan hasil dari perang dingin
antara Amerika beserta sekutunya dengan Uni Soviet pada saat itu.
Bagi kekristenan sendiri, Jerman memiliki
peran yang sangat penting. Di Jerman-lah, tepatnya di Wittenberg, pada tahun
1517, terjadi gerakan reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther, yang
melahirkan protestanisme.
Seperti negara-negara di Eropa barat
lainnya, di Jerman kekeristenan memang menjadi mayoritas. Sekitar 62,8% dari
penduduk Jerman menganut kekristenan (30% Katolik, 29,9% Protestan, 1,6%
Kristen Ortodoks, dan sisanya menganut denominasi lain). Karena itu, tidaklah mengherankan apabila
gereja menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat di Jerman. Hampir
di setiap kota terdapat gedung gereja. Setiap kota memiliki gereja utama, yang
biasanya berlokasi di pusat kota, di dekat Balai Kota (Rathaus) atau di dekat istana. Selain gereja utama, di setiap kota
bertebaran gereja-gereja, baik Protestan maupun Katolik, baik yang merupakan
bangunan lama yang telah berdiri beratus-ratus tahun, maupun yang baru dan modern.
Seperti dicatat oleh sejarah, setelah
Perang Dunia II usai, dan Jerman kemudian di kuasai oleh Amerika Serikat,
Inggris, Prancis dan Uni Soviet, kondisi Jerman hancur lebur setalah
dibombardir habis-habisan. Hampir semua bangunan di kota-kota di Jerman hancur,
termasuk bangunan gereja. Namun, jika kita melihat kota-kota di Jerman itu saat
ini, kita sama sekali tidak akan menyangka bahwa sebelumnya kota-kota itu
pernah hancur, karena semua dibangun kembali dan direstorasi hampir menyerupai
bangunan aslinya, pada masa sebelum perang. Banyak gedung-gedung tua dan
bersejarah yang direstorasi sedemikian rupa, hingga menyerupai aslinya.
Termasuk gedung-gedung gereja-nya. Keaslian dan keindahan bangunan asli tetap
dipertahankan.
Dalam upaya mempertahankan keindahan dan
keaslian interior gereja, penggunaan teknologi di dalam gereja pun tampak sudah
diperhitungkan, sehingga tidak mengganggu secara visual. Misalnya, penggunaan sound system yang canggih, dengan
menggunakan loudspeaker yang
berukuran kecil, tidak mencolok, namun menghasilkan suara berkualitas tinggi.
Atau tidak digunakannya layar-layar proyektor (seperti yang banyak ditemukan di
gereja di Indonesia pada masa kini) yang dapat mengganggu keindahan bagian
depan gereja.
Walaupun Jerman dikenal dengan negara yang
menghasilkan teknologi tinggi, namun untuk urusan ibadah dalam gereja, masih
mengutamakan kesederhanaan, tanpa mengurangi kekhidmatan dan kelancaran proses
ibadah. Misalnya, penggunaan papan penunjuk nomor lagu, penggunaan buku
nyanyian, dan dipertahankannya penggunaan organ pipa. Berdasarkan pengalaman
pribadi penulis, memang terasa ada perbedaan sensasi, ketika kita memasuki
gedung gereja yang tinggi menjulang, dengan interior dan dekorasi yang sangat
cantik dan detail, ditunjang dengan suara organ pipa dan paduan suara yang
indah. Kebesaran dan kemegahan Tuhan lebih terasa, ibadah menjadi lebih
khidmat. Sensasi ini sulit dirasakan apabila kita memasuki gedung gereja yang
modern, sarat dengan berbagai perlengkapan elektronik yang canggih. Tapi itu
merupakan perasaan subjektif dari penulis sendiri. Mungkin para pembaca ada
yang lebih menyukai gedung gereja yang modern.
Saarbrücken
: Johanneskirche dan Ludwigskirche
Saarbrücken merupakan kota singgahan
pertama yang ditinggali oleh penulis selama 2 bulan, mulai Desember 2011 hingga
Januari 2013. Kota ini merupakan ibukota negara bagian Saarland, terletak di
perbatasan Jerman-Prancis, di tepian Sungai Saar. Hanya dengan berkereta sekitar
30 menit saja, kita sudah bisa sampai di salah satu kota kecil di Prancis,
yaitu Saaregumienes. Secara historis, kawasan Saarland ini beberapa kali
berpindah kepemilikan kekuasaaan, antara Prancis dan Jerman. Namun hingga saat
ini, Saarland menjadi salah satu negara bagian di Jerman setelah pada tahun
1935 penduduk di kawasan ini memilih untuk bergabung dengan Jerman melalui
sebuah referendum. Pengaruh Prancis di Saarland, dan juga di Saarbrücken masih
cukup terasa hingga sekarang. Contohnya adalah penggunaan bahasa Prancis yang
masih cukup banyak dipakai, dan nama-nama keluarga yang masih berbau nama
Prancis. Pengaruh Prancis juga terasa pada kekristenan, di mana mayoritas
penduduk Saarbrücken beragama Katolik.
Yang akan penulis ulas adalah 2 gereja Protestan utama di Saarbrücken, yaitu
Johanneskirche dan Ludwigskirche.
Johanneskirche
Johanneskirche (Gereja Yohanes) merupakan
sebuah bangunan bergaya neo-gotik, yang dibangun antara tahun 1894 – 1898.
Gereja ini mampu bertahan dan tetap berdiri selama Perang Dunia Ii berlangsung,
walaupun Kota Saarbrücken sendiri pada periode 1942 – 1945 rata dengan tanah.
Penulis beberapa kali mengikuti Kebaktian
Minggu di Johanneskirche. Letaknya strategis di tengah kota, dan berdekatan
dengan halte bis maupun stasiun kereta (Straßenbahn).
Di gereja inilah penulis pertama kali mengikuti Perjamuan Kudus (Abendmahl) di Jerman.
Ada hal yang menarik mengenai Perjamuan
Kudus di Jerman. Tidak seperti di GKP, Perjamuan Kudus di Johanneskirche
dilakukan dengan mengundang semua jemaat untuk maju ke depan, dan membentuk
lingkaran di sekitar altar. Kemudian, Pendeta dan petugas (mungkin seperti
majelis di kita) akan berkeliling membagikan roti dan anggur. Roti biasanya
dibagikan oleh petugas, sedangkan anggur dibagikan oleh Pendeta. Jadi mereka
yang berkeliling, sedangkan jemaat menunggu giliran sambil melingkar. Pada
awalnya penulis merasa ragu untuk ikut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus ini,
karena mengira bahwa semua jemaat meminum anggur dari satu cawan, tidak dari
gelas-gelas seperti yang lazim dilakukan di GKP. Namun, setelah diperhatikan,
ternyata cawan yang digunakan tidak hanya satu. Sang Pendeta akan memutar bibir
cawan setelah digunakan oleh satu jemaat, sehingga jemaat berikutnya minum dari
bibir cawan yang bersih, dan setelah 4 orang jemaat (atau setelah seluruh sisi
bibir cawan digunakan), maka cawan akan diganti. Namun, untuk jemaat yang tidak
mau meminum anggur langsung dari cawan, dapat menggunakan metode lain, yaitu
dengan mencelupkan roti ke dalam cawan kemudian memakan roti tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin semua
jemaat dapat tertampung dalam sebuah lingkaran di depan altar? Tentu saja
dibuat pengelompokan, jadi tidak semua jemaat dalam pada satu waktu sekaligus
maju ke depan, namun di bagi dalam beberapa kelompok. Menurut pengamatan
penulis, metode Perjamuan Kudus dengan maju ke depan seperti itu, hanya
dilakukan di gereja-gereja yang tidak terlalu besar, dengan jemaat yang tidak
terlalu banyak. Untuk gereja yang besar dan jemaat yang banyak (misalnya di
Berliner Dom, di Berlin), maka perjamuan kudus dilakukan dengan cara jemaat
yang mendatangi Pendeta untuk mendapat roti dan anggur, persis seperti yang
dilakukan dalam Perjamuan Kudus di GKP Bandung pada Jumat Agung 2013 yang lalu
(bedanya, di sana berlangsung dengan sangat tertib dan teratur, dan di dukung dengan
ruangan gereja yang luas, sehingga memudahkan jemaat untuk berjalan ke altar). Dengan metode seperti ini
pun, jemaat meminum anggur langsung dari cawan, dengan perputaran dan
penggantian cawan seperti yang sudah dijelaskan.
Selain Perjamuan Kudus, ada beberapa
pengalaman menarik yang dialami oleh penulis selama berkebaktian di
Johanneskirche. Pada salah satu minggu Advent (Desember 2012), tema
kebaktiannya adalah mengenai Bintang Bethlehem atau Bintang Timur, yang tampak
pada malam kelahiran Tuhan Yesus. Yang menarik adalah, khotbah dilakukan dengan
cara dialog, antara Pendeta dengan Seorang Astronom. Sang Pendeta membahas sisi
dan makna teologis dari Bintang Bethlehem, sedangkan Astronom membahas dari
sisi astronomi, lengkap dengan berbagai teori tentang Bintang Bethlehem.
Misalnya teori yang mengatakan bahwa Bintang Bethlehem itu adalah Planet Venus,
atau meteor, atau supernova yang terjadi tepat pada saat kelahiran Yesus.
Menjadi menarik bagi jemaat, karena dilengkapi juga dengan gambar-gambar dan foto-foto
astronomis yang sangat indah. Selain itu, jemaat juga diberikan kesempatan
untuk melihat langsung bintang-bintang tersebut, melalui Planetarium mini yang
sengaja di bangun di dalam bangunan gereja, hasil kerjasama antara pihak gereja
dengan Planetarium setempat.
Hal berikutnya yang menarik dari pengalaman
kebaktian di Johanneskirche, adalah bahwa tidak selalu Pendeta yang berkhotbah.
Pada suatu kebaktian, yang berkhotbah adalah seorang dari Kementrian Lingkungan
Hidup Negara Bagian Saarland, yang menyampaikan khotbah mengenai pentingnya
jemaat memelihara kelestarian lingkungan hidup.
Atau, pernah juga seorang pemimpin orkestra musik yang berkhothah,
dengan thema peran musik gereja dalam ibadah. Mungkin gereja dan jemaat di
Jerman menganut prinsip “serahkan pada ahlinya”, sehingga tidak selalu Pendeta
yang harus berkhotbah, terutama untuk thema-thema yang khusus dan spesifik.
Ludwigskirche
Ludwigskirche adalah gereja lain tempat
penulis beribadah selama 2 bulan tinggal di Kota Saarbrücken. Gereja ini
didirikan mulai tahun 1762 dan selesai pada tahun 1775, dengan gaya baroque. Ludwigskirche didirikan atas
permintaan Wilhelm Heinrich
von Nassau-Saarbrücken yang saat itu berkuasa. Gereja ini berlokasi
tidak jauh dari Istana Saarbrücken. Karena menjadi salah satu bagian dari
istana, maka tidak mengherankan kalau Ludwigskirche tampak mewah dengan
berbagai ornamen yang cantik.
Pada 1885-1887 dan pada 1906-1911, Ludwigskirche
mengalami restorasi. Selama Perang Dunia II, Ludwigskirche hampir hancur.
Setelah pemboman pada tanggal 5 Oktober 1944, hanya dinding sekitar gereja yang
masih berdiri. Pembangunan kembali Ludwigskirche dimulai pada tahun 1949, namun
kemudian behenti dan tertunda untuk jangka waktu yang cukup panjang. Alasan
utama penundaan panjang ini karena ada perdebatan hebat, yang berlangsung dari
tahun 1950-1970, tentang apakah interior barok, yang telah benar-benar hancur
karena pemboman, harus direkonstruksi sesuai dengan kondisi aslinya. Pada
awalnya, ada kesepakatan untuk mengembalikan bentuk luar gereja (eksterior) seperti aslinya, dengan interior modern.
Namun rencana ini akhirnya ditinggalkan, dan interior barok akhirnya digunakan
kembali. Setelah rekonstruksi Fürstenstuhl
(tempat duduk pangeran di galeri seberang organ) pada tahun 2009, dapat
dikatakan bahwa restorasi interior Ludwigskirche selesai. Namun beberapa patung
yang menghiasi pagar di luar masih ada
yang kurang.
Penulis mengikuti Kebaktian Natal 2012 di
gereja ini. Kalau kita bandingkan kebaktian Natal di Indonesia dengan di
Jerman, sepertinya malah di Jerman kurang terasa kemeriahannya. Kemeriahan
justru sangat terasa pada saat menyambut Natal, yaitu sepanjang 4 Minggu
Advent, yang ditandai dengan tradisi Weihnachtsmarkt
(Pasar Natal) yang sangat populer di seluruh Jerman.
Jemaat yang hadir pada Kebaktian Natal di
Jerman tidak sebanyak jemaat di Indonesia, tetapi hampir sama dengan
kebaktian-kebaktian minggu biasa. Gereja pun tidak didekorasi dengan
berlebihan, mengingat interior Ludwigskirsche sendiri, yang didominasi oleh
warna putih, sudah sangat cantik dengan gaya barok-nya. Hanya ada pohon Natal
yang dihias dengan lampu-lampu sederhana. Masyarakat Jerman sendiri pada
umumnya merayakan Natal pada tanggal 24 Desember malam (Malam Natal). Sayangnya, ketika itu penulis tidak
bisa ikut hadir berkebaktian pada Malam Natal, sehubungan dengan ketidakadaan
transportasi umum. Memang pada Malam Natal, transportasi umum di Kota Saarbrücken
tidak beroperasi. Sehingga penulis yang saat itu tinggal di wisma sebuah
sekolah bahasa (Carl Duisberg Centren),
yang lokasinya sedikit di luar pusat kota, kesulitan untuk berangkat ke pusat
kota.
Berkebaktian pada musim dingin di Jerman
memang merupakan tantangan tersendiri. Walaupun cuaca sangat dingin, kebanyakan
gereja-gereja di Jerman (terutama gereja tua), tidak menggunakan sistem
penghangat seperti di gedung-gedung modern, sehingga jemaat yang berkebaktian
tidak dapat melepas jaket tebalnya. Alhasil, jemaat berkebaktian dengan
menggunakan wintercoat tebal. Hal ini
sangat terasa ketika penulis berkebaktian di Ludwigskirche. Selain ukuran
Ludwigskirche cukup luas, ditambah dengan material interior yang berbahan marmer
dan batu, membuat udara dingin menjadi lebih terasa. Berbeda dengan interior
Johanneskirche yang banyak lantainya berlapis kayu, membuat ruangan gereja
menjadi sedikit lebih hangat.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment