Friday, August 16, 2013

Die Kirchen Deutschlands

Catatan: tulisan ini akan diterbitkan pada bulletin internal GKP Jemaat Bandung (Effata).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
 
Pada bulan Desember 2011 hingga Desember 2012 yang lalu, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah program training di  Jerman. Selama periode 1 tahun tinggal di Jerman, penulis mengunjungi beberapa kota, baik itu di Jerman, maupun di beberapa negara Eropa lainnya. Dari setiap kunjungan ke berbagai kota tersebut, penulis selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi gereja-gereja yang ada di kota tersebut. Melalui tulisan ini, penulis ingin membagikan kepada pembaca semua, sedikit informasi dan pengetahuan dari beberapa gereja yang sempat penulis kunjungi.

 
Selain gereja-gereja yang penulis kunjungi hanya sekali, ada juga beberapa gereja yang menjadi tempat ibadah penulis, selama penulis tinggal di Saarbrücken, Mannheim, Berlin, dan Duisburg. Ke-4 kota inilah yang menjadi kota tempat tinggal penulis, selama penulis tinggal di Jerman. Selain sekilas tentang gerejanya, penulis juga akan membagikan sedikit pengalaman, bagaimana menjadi jemaat di ke-4 kota tersebut.

Gereja dalam bahasa Jerman adalah die Kirche. Ketika awal belajar Bahasa Jerman, penulis harus berhati-hati membedakan kata die Kirche dengan die Kirsche. Karena, walaupun hanya berbeda satu huruf, namun maknanya sangat berbeda. Die Kirche berarti gereja, sedangkan die Kirsche berarti buah cherry.

 
Judul tulisan ini (Die Kirchen Deutschlands), berarti kurang lebih “gereja-gereja di Jerman”. Namun penulis juga akan sedikit membahas beberapa gereja di luar Jerman, yang sempat penulis kunjungi.

 
Sekilas Tentang Jerman

 
Jerman (atau nama resminya adalah Republik Federal German/Bundesrepublik Deutschland) adalah negara yang terletak di bagian tengah Eropa. Jerman memiliki 16 negara bagian (Bundesland), dengan ibukotanya, yang sekaligus juga kota terbesarnya, adalah Berlin. Negara Jerman sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang. Yang paling tidak bisa dilupakan dari sejarah, adalah peran Jerman dalam Perang Dunia ke-2 (masa kepemimpinan Adolf Hitler), dan tembok Berlin, yang merupakan hasil dari perang dingin antara Amerika beserta sekutunya dengan Uni Soviet pada saat itu.

 
Bagi kekristenan sendiri, Jerman memiliki peran yang sangat penting. Di Jerman-lah, tepatnya di Wittenberg, pada tahun 1517, terjadi gerakan reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther, yang melahirkan protestanisme.

                                                                                     
Seperti negara-negara di Eropa barat lainnya, di Jerman kekeristenan memang menjadi mayoritas. Sekitar 62,8% dari penduduk Jerman menganut kekristenan (30% Katolik, 29,9% Protestan, 1,6% Kristen Ortodoks, dan sisanya menganut denominasi lain)[1].  Karena itu, tidaklah mengherankan apabila gereja menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat di Jerman. Hampir di setiap kota terdapat gedung gereja. Setiap kota memiliki gereja utama, yang biasanya berlokasi di pusat kota, di dekat Balai Kota (Rathaus) atau di dekat istana. Selain gereja utama, di setiap kota bertebaran gereja-gereja, baik Protestan maupun Katolik, baik yang merupakan bangunan lama yang telah berdiri beratus-ratus tahun, maupun yang baru dan modern.

 
Seperti dicatat oleh sejarah, setelah Perang Dunia II usai, dan Jerman kemudian di kuasai oleh Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet, kondisi Jerman hancur lebur setalah dibombardir habis-habisan. Hampir semua bangunan di kota-kota di Jerman hancur, termasuk bangunan gereja. Namun, jika kita melihat kota-kota di Jerman itu saat ini, kita sama sekali tidak akan menyangka bahwa sebelumnya kota-kota itu pernah hancur, karena semua dibangun kembali dan direstorasi hampir menyerupai bangunan aslinya, pada masa sebelum perang. Banyak gedung-gedung tua dan bersejarah yang direstorasi sedemikian rupa, hingga menyerupai aslinya. Termasuk gedung-gedung gereja-nya. Keaslian dan keindahan bangunan asli tetap dipertahankan.

 
Dalam upaya mempertahankan keindahan dan keaslian interior gereja, penggunaan teknologi di dalam gereja pun tampak sudah diperhitungkan, sehingga tidak mengganggu secara visual. Misalnya, penggunaan sound system yang canggih, dengan menggunakan loudspeaker yang berukuran kecil, tidak mencolok, namun menghasilkan suara berkualitas tinggi. Atau tidak digunakannya layar-layar proyektor (seperti yang banyak ditemukan di gereja di Indonesia pada masa kini) yang dapat mengganggu keindahan bagian depan gereja.

 
Walaupun Jerman dikenal dengan negara yang menghasilkan teknologi tinggi, namun untuk urusan ibadah dalam gereja, masih mengutamakan kesederhanaan, tanpa mengurangi kekhidmatan dan kelancaran proses ibadah. Misalnya, penggunaan papan penunjuk nomor lagu, penggunaan buku nyanyian, dan dipertahankannya penggunaan organ pipa. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, memang terasa ada perbedaan sensasi, ketika kita memasuki gedung gereja yang tinggi menjulang, dengan interior dan dekorasi yang sangat cantik dan detail, ditunjang dengan suara organ pipa dan paduan suara yang indah. Kebesaran dan kemegahan Tuhan lebih terasa, ibadah menjadi lebih khidmat. Sensasi ini sulit dirasakan apabila kita memasuki gedung gereja yang modern, sarat dengan berbagai perlengkapan elektronik yang canggih. Tapi itu merupakan perasaan subjektif dari penulis sendiri. Mungkin para pembaca ada yang lebih menyukai gedung gereja yang modern.

 

Saarbrücken : Johanneskirche dan Ludwigskirche

 
Saarbrücken merupakan kota singgahan pertama yang ditinggali oleh penulis selama 2 bulan, mulai Desember 2011 hingga Januari 2013. Kota ini merupakan ibukota negara bagian Saarland, terletak di perbatasan Jerman-Prancis, di tepian Sungai Saar. Hanya dengan berkereta sekitar 30 menit saja, kita sudah bisa sampai di salah satu kota kecil di Prancis, yaitu Saaregumienes. Secara historis, kawasan Saarland ini beberapa kali berpindah kepemilikan kekuasaaan, antara Prancis dan Jerman. Namun hingga saat ini, Saarland menjadi salah satu negara bagian di Jerman setelah pada tahun 1935 penduduk di kawasan ini memilih untuk bergabung dengan Jerman melalui sebuah referendum. Pengaruh Prancis di Saarland, dan juga di Saarbrücken masih cukup terasa hingga sekarang. Contohnya adalah penggunaan bahasa Prancis yang masih cukup banyak dipakai, dan nama-nama keluarga yang masih berbau nama Prancis. Pengaruh Prancis juga terasa pada kekristenan, di mana mayoritas penduduk Saarbrücken beragama Katolik.


Yang akan penulis ulas adalah 2 gereja Protestan utama di Saarbrücken, yaitu Johanneskirche dan Ludwigskirche.

 
Johanneskirche

Johanneskirche (Gereja Yohanes) merupakan sebuah bangunan bergaya neo-gotik, yang dibangun antara tahun 1894 – 1898. Gereja ini mampu bertahan dan tetap berdiri selama Perang Dunia Ii berlangsung, walaupun Kota Saarbrücken sendiri pada periode 1942 – 1945 rata dengan tanah.

 
Penulis beberapa kali mengikuti Kebaktian Minggu di Johanneskirche. Letaknya strategis di tengah kota, dan berdekatan dengan halte bis maupun stasiun kereta (Straßenbahn). Di gereja inilah penulis pertama kali mengikuti Perjamuan Kudus (Abendmahl) di Jerman.

Ada hal yang menarik mengenai Perjamuan Kudus di Jerman. Tidak seperti di GKP, Perjamuan Kudus di Johanneskirche dilakukan dengan mengundang semua jemaat untuk maju ke depan, dan membentuk lingkaran di sekitar altar. Kemudian, Pendeta dan petugas (mungkin seperti majelis di kita) akan berkeliling membagikan roti dan anggur. Roti biasanya dibagikan oleh petugas, sedangkan anggur dibagikan oleh Pendeta. Jadi mereka yang berkeliling, sedangkan jemaat menunggu giliran sambil melingkar. Pada awalnya penulis merasa ragu untuk ikut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus ini, karena mengira bahwa semua jemaat meminum anggur dari satu cawan, tidak dari gelas-gelas seperti yang lazim dilakukan di GKP. Namun, setelah diperhatikan, ternyata cawan yang digunakan tidak hanya satu. Sang Pendeta akan memutar bibir cawan setelah digunakan oleh satu jemaat, sehingga jemaat berikutnya minum dari bibir cawan yang bersih, dan setelah 4 orang jemaat (atau setelah seluruh sisi bibir cawan digunakan), maka cawan akan diganti. Namun, untuk jemaat yang tidak mau meminum anggur langsung dari cawan, dapat menggunakan metode lain, yaitu dengan mencelupkan roti ke dalam cawan kemudian memakan roti tersebut.

 
Pertanyaannya, bagaimana mungkin semua jemaat dapat tertampung dalam sebuah lingkaran di depan altar? Tentu saja dibuat pengelompokan, jadi tidak semua jemaat dalam pada satu waktu sekaligus maju ke depan, namun di bagi dalam beberapa kelompok. Menurut pengamatan penulis, metode Perjamuan Kudus dengan maju ke depan seperti itu, hanya dilakukan di gereja-gereja yang tidak terlalu besar, dengan jemaat yang tidak terlalu banyak. Untuk gereja yang besar dan jemaat yang banyak (misalnya di Berliner Dom, di Berlin), maka perjamuan kudus dilakukan dengan cara jemaat yang mendatangi Pendeta untuk mendapat roti dan anggur, persis seperti yang dilakukan dalam Perjamuan Kudus di GKP Bandung pada Jumat Agung 2013 yang lalu (bedanya, di sana berlangsung dengan sangat tertib dan teratur, dan di dukung dengan ruangan gereja yang luas, sehingga memudahkan jemaat untuk  berjalan ke altar). Dengan metode seperti ini pun, jemaat meminum anggur langsung dari cawan, dengan perputaran dan penggantian cawan seperti yang sudah dijelaskan.

 
Selain Perjamuan Kudus, ada beberapa pengalaman menarik yang dialami oleh penulis selama berkebaktian di Johanneskirche. Pada salah satu minggu Advent (Desember 2012), tema kebaktiannya adalah mengenai Bintang Bethlehem atau Bintang Timur, yang tampak pada malam kelahiran Tuhan Yesus. Yang menarik adalah, khotbah dilakukan dengan cara dialog, antara Pendeta dengan Seorang Astronom. Sang Pendeta membahas sisi dan makna teologis dari Bintang Bethlehem, sedangkan Astronom membahas dari sisi astronomi, lengkap dengan berbagai teori tentang Bintang Bethlehem. Misalnya teori yang mengatakan bahwa Bintang Bethlehem itu adalah Planet Venus, atau meteor, atau supernova yang terjadi tepat pada saat kelahiran Yesus. Menjadi menarik bagi jemaat, karena dilengkapi juga dengan gambar-gambar dan foto-foto astronomis yang sangat indah. Selain itu, jemaat juga diberikan kesempatan untuk melihat langsung bintang-bintang tersebut, melalui Planetarium mini yang sengaja di bangun di dalam bangunan gereja, hasil kerjasama antara pihak gereja dengan Planetarium setempat.

 
Hal berikutnya yang menarik dari pengalaman kebaktian di Johanneskirche, adalah bahwa tidak selalu Pendeta yang berkhotbah. Pada suatu kebaktian, yang berkhotbah adalah seorang dari Kementrian Lingkungan Hidup Negara Bagian Saarland, yang menyampaikan khotbah mengenai pentingnya jemaat memelihara kelestarian lingkungan hidup.  Atau, pernah juga seorang pemimpin orkestra musik yang berkhothah, dengan thema peran musik gereja dalam ibadah. Mungkin gereja dan jemaat di Jerman menganut prinsip “serahkan pada ahlinya”, sehingga tidak selalu Pendeta yang harus berkhotbah, terutama untuk thema-thema yang khusus dan spesifik.

 
Ludwigskirche

 Ludwigskirche adalah gereja lain tempat penulis beribadah selama 2 bulan tinggal di Kota Saarbrücken. Gereja ini didirikan mulai tahun 1762 dan selesai pada tahun 1775, dengan gaya baroque. Ludwigskirche didirikan atas permintaan  Wilhelm Heinrich von Nassau-Saarbrücken yang saat itu berkuasa. Gereja ini berlokasi tidak jauh dari Istana Saarbrücken. Karena menjadi salah satu bagian dari istana, maka tidak mengherankan kalau Ludwigskirche tampak mewah dengan berbagai ornamen yang cantik.

 
Pada 1885-1887 dan pada 1906-1911, Ludwigskirche mengalami restorasi. Selama Perang Dunia II, Ludwigskirche hampir hancur. Setelah pemboman pada tanggal 5 Oktober 1944, hanya dinding sekitar gereja yang masih berdiri. Pembangunan kembali Ludwigskirche dimulai pada tahun 1949, namun kemudian behenti dan tertunda untuk jangka waktu yang cukup panjang. Alasan utama penundaan panjang ini karena ada perdebatan hebat, yang berlangsung dari tahun 1950-1970, tentang apakah interior barok, yang telah benar-benar hancur karena pemboman, harus direkonstruksi sesuai dengan kondisi aslinya. Pada awalnya, ada kesepakatan untuk mengembalikan bentuk luar gereja  (eksterior) seperti aslinya, dengan interior modern. Namun rencana ini akhirnya ditinggalkan, dan interior barok akhirnya digunakan kembali. Setelah rekonstruksi Fürstenstuhl (tempat duduk pangeran di galeri seberang organ) pada tahun 2009, dapat dikatakan bahwa restorasi interior Ludwigskirche selesai. Namun beberapa patung  yang menghiasi pagar di luar masih ada yang kurang.

 
Penulis mengikuti Kebaktian Natal 2012 di gereja ini. Kalau kita bandingkan kebaktian Natal di Indonesia dengan di Jerman, sepertinya malah di Jerman kurang terasa kemeriahannya. Kemeriahan justru sangat terasa pada saat menyambut Natal, yaitu sepanjang 4 Minggu Advent, yang ditandai dengan tradisi Weihnachtsmarkt (Pasar Natal) yang sangat populer di seluruh Jerman.

 
Jemaat yang hadir pada Kebaktian Natal di Jerman tidak sebanyak jemaat di Indonesia, tetapi hampir sama dengan kebaktian-kebaktian minggu biasa. Gereja pun tidak didekorasi dengan berlebihan, mengingat interior Ludwigskirsche sendiri, yang didominasi oleh warna putih, sudah sangat cantik dengan gaya barok-nya. Hanya ada pohon Natal yang dihias dengan lampu-lampu sederhana. Masyarakat Jerman sendiri pada umumnya merayakan Natal pada tanggal 24 Desember malam (Malam  Natal). Sayangnya, ketika itu penulis tidak bisa ikut hadir berkebaktian pada Malam Natal, sehubungan dengan ketidakadaan transportasi umum. Memang pada Malam Natal, transportasi umum di Kota Saarbrücken tidak beroperasi. Sehingga penulis yang saat itu tinggal di wisma sebuah sekolah bahasa (Carl Duisberg Centren), yang lokasinya sedikit di luar pusat kota, kesulitan untuk berangkat ke pusat kota.

 
Berkebaktian pada musim dingin di Jerman memang merupakan tantangan tersendiri. Walaupun cuaca sangat dingin, kebanyakan gereja-gereja di Jerman (terutama gereja tua), tidak menggunakan sistem penghangat seperti di gedung-gedung modern, sehingga jemaat yang berkebaktian tidak dapat melepas jaket tebalnya. Alhasil, jemaat berkebaktian dengan menggunakan wintercoat tebal. Hal ini sangat terasa ketika penulis berkebaktian di Ludwigskirche. Selain ukuran Ludwigskirche cukup luas, ditambah dengan material interior yang berbahan marmer dan batu, membuat udara dingin menjadi lebih terasa. Berbeda dengan interior Johanneskirche yang banyak lantainya berlapis kayu, membuat ruangan gereja menjadi sedikit lebih hangat.

 
(Bersambung)








[1] Data tahun 2008

Guten Tag!

2013... yups... sudah tahun 2013, dan itu pun sudah memasuki bulan kedelapan, hari keenam belas. Beberapa tahun sudah lewat dari saat terakhir saya menulis di blog ini. Apa yang berubah?

Pastinya saya sudah menjadi individu yang berbeda. Berbeda dalam arti berkembang. Akhir tahun 2011 sampai akhir 2012 adalah masa yang penting dalam perkembangan saya sebagai individu. Selama periode 1 tahun tersebut, saya berada di negeri orang, tepatnya di Jerman, dalam rangka mengikuti International Leadership Training (ILT) Hospital Management, atas beasiswa dari GIZ Jerman. Kesempatan yang langka, dan sangat bermakna terutama dalam pengembangan pengetahuan dan kompetensi tentang perumahsakitan. Lebih bersyukur lagi, karena ternyata saya menjadi peserta ILT angkatan terakhir (angkatan V). Padahal, waktu awal-awal akan mendaftar program ini, sempat terbersit keraguan, dan ingin menunda di tahun berikutnya, mengingat persiapan yang sangat singkat waktunya. Untung saja, waktu itu saya nekad mengambil keputusan untuk tetap mengirim aplikasi dan mengikuti proses seleksi.

Dampak dari keikutsertaan dalam ILT dan tinggal di Jerman selama setahun, tentunya adalah penambahan dalam kemampuan bahasa. Belajar bahasa asing, adalah minat saya dari dulu, sampai-sampai pada waktu SMA saya pernah ikut kursus bahasa Prancis. Selain itu, saya juga suka membli buku-buku pelajaran bahasa asing, mulai dari bahasa Prancis, Spanyol, Jepang, Belanda, dan juga Jerman. Beruntung, melalui program ILT tersebut, saya di'paksa' untuk belajar bahasa Jerman, karena program tersebut memang 100% berbahasa Jerman. Walaupun dulu bahasa Prancis yang menjadi bahasa favorit saya, tapi belajar bahasa Jerman pun ternyata menyenangkan, apalagi kalau kita tahu bahwa bahasa tersebut akan kita pakai sehari-harinya nanti. Walau belum terkategori fasih, namun sekarang saya sudah bisa berkomunikasi dalam bahasa Jerman. Secara formal, saya hanya 5,5 bulan belajar bahasa Jerman, tapi dengan program yang super-super intensif. Selama 1,5 bulan sebelum berangkat ke Jerman, saya belajar bahasa di Goethe Institut Jakarta. Kemudian 2 bulan pertama di Jerman (Desember 2011 - Januari 2012) saya belajar bahasa di Carl Duisberg Centren (CDC) Saarbrücken, dan 2 bulan berikutnya (Februari - Maret 2012) di CDC Mannheim. Tetapi masa belajar yang sesungguhnya adalah ketika bahasa itu dipakai dalam pergaulan sehari-hari, baik itu dalam kelas, maupun dalam kehidupan sosial di Jerman.

Mudah-mudahan nanti beberapa entri dalam blog ini bisa saya tulis dalam bahasa Jerman juga. Atau mungkin nama blog ini, yang sekarang berbahasa Prancis, akan berubah menjadi bahasa Jerman.

Jadi, entri-entri baru di masa depan, mungkin akan berisi beberapa pengalaman menarik yang saya alami selama di Jerman. Mudah-mudahan belum lupa. Begitu banyak pengalaman hidup yang menarik. Sedikit demi sedikit akan saya dokumentasikan dalam blog ini.

Mudah-mudahan, penyakit malas menulis tidak kumat lagi.

Schönen Tag, noch!